tubuh
merekam
DALAM Alquran (Yasin: 65) dinyatakan, di akhirat kelak
anggota tubuh kita akan memberikan kesaksian atas apa yang diperbuatnya selama
di dunia.
Tangan,
kaki, dan anggota badan lain akan berbicara sehingga mulut tidak bisa membantah
dan berbohong. Pendeknya dalam pengadilan di akhirat kelak kita tak akan mampu
membohongi diri sendiri dan malaikat karena anggota tubuh akan menjadi saksi
yang bisa memberatkan atau meringankan, tergantung pada perbuatan yang pernah
dilakukan di dunia. Hakim yang kita hadapi di akhirat kelak bukanlah hakim yang
dapat disuap dengan uang sebagaimana yang terjadi di dunia.
Tak akan ada yang mampu menolong diri kita kecuali
rekaman iman dan amal kebajikan kita sendiri. Apa yang disampaikan Alquran di
atas secara ilmiah sangat mudah untuk dibuktikan bahwa tubuh
itu merekam apa yang biasa kita lakukan dan pikirkan. Contoh yang paling sederhana
adalah rekaman pengalaman naik sepeda. Mungkin ada di antara kita sudah puluhan
tahun tidak pernah naik sepeda.Tetapi karena dahulunya pernah dan biasa naik
sepeda, andaikan disodori sepeda pasti bisa mengendarainya.
Mengapa? Karena tubuh kita, terutama kaki dan
tangan,memiliki rekaman bagaimana mengendarai sepeda,sehingga rekaman tadi
muncul lagi ketika disuruh naik sepeda. Namun, mereka yang dahulunya tidak
pernah,yang berarti tidak memiliki rekaman pengalaman, pasti perlu waktu lama
dan mulai dari nol untuk belajar naik sepeda. Contoh ini dapat diperbanyak
lagi, misalnya apa yang direkam oleh lidah tentang rasa makanan.
Tanpa diberi tahu apa namanya, begitu melihat, mencium
baunya, dan merasakan rasa makanan yang dahulu suka kita makan waktu kecil
sudah langsung tahu apa nama makanan itu dan bagaimana rasanya. Bahkan andaikan
makanan itu disajikan dalam keadaan gelap, kita akan bisa mengenalinya.
Bagaimana bisa? Karena lidah kita memiliki rekaman akan berbagai rasa makanan.
Dalam sebuah penelitian kajian neurologi dibuktikan
bahwa selsel otak ternyata menyimpan berbagai informasi dan pengalaman yang
terekam sejak kecil yang umumnya sudah kita lupakan. Ketika dilakukan
eksperimen dengan pembedahan otak, tetapi yang bersangkutan tetap sadar,
ternyata ketika dirangsang sel-sel saraf tertentu mampu menceritakan berbagai
pengalaman sewaktu kecil.Eksperimen ini memperkuat teori bahwa semua yang
pernah kita ketahui dan pikirkan terekam dalam jaringan saraf otak. Jadi, apa
yang dikatakan Alquran tadi semakin diperkuat oleh eksperimen ilmiah.
Teori bahwa tubuh merekam saya amati dan buktikan
sendiri ketika ayah saya sakit, dirawat di rumah sakit di Magelang selama satu
minggu. Saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari peristiwa ini.
Betapa tidak? Bayangkan, ketika dia sembuh dan telah kembali ke rumah, saya
bertanya kepadanya, “Bagaimana pengalaman Bapak ketika di rumah sakit?”Dia
jawab, “Saya lupa.” Sungguh ini hal yang aneh. Dia bilang sudah lupa dengan apa
yang terjadi di rumah sakit. Jadi, secara fisik sebenarnya dia memang sakit,
tetapi secara mental dia sama sekali tidak merasa dirinya sakit.
Yang sangat mengesankan saya, saat dirawat di rumah
sakit, setiap kali datang waktu salat, dia selalu minta air untuk wudu atau minta
diberi kesempatan untuk tayamum karena mau salat. Rupanya tubuh dan mentalnya
merekam ritme jadwal salat sehingga setiap datang waktu salat, jam badannya
(biological clock) memberi isyarat secara refleks dan otomatis bergegas untuk
mendirikan salat karena ayah saya ketika sehat selalu salat tepat waktu lima
kali sehari.
Jadi, ketika sakit, jam badan itu bekerja layaknya
weaker yang memberi isyarat karena di dalamnya memiliki rekaman habit. Contoh
lain yang dengan mudah kita saksikan dalam peristiwa-peristiwa sehari-hari
adalah pengalaman sopir bus malam lintas kota. Dulu, waktu tol Cipularang belum
dibuat, sebagian besar orang menggunakan jalur Puncak untuk pergi dari Jakarta
ke Bandung. Pernahkah kita membayangkan bagaimana hebatnya para sopir bus jurusan
Jakarta– Bandung itu ketika melawati Ciawi, Megamendung, Cisarua, Puncak Pass,
Cipanas, Cianjur, dan Bandung?
Sopir-sopir bus itu dengan mudahnya menyusuri jalan
berkelok yang naik-turun. Mereka sangat lihai. Mereka hafal betul kapan dan di
mana harus berbelok. Mereka tahu kapan dan di mana akan ada tanjakan dan
tikungan, bahkan mereka tahu di mana akan ada banyak kerumunan orang di jalan.
Mengapa mereka bisa sehebat itu? Mengapa sopir itu bisa secara refleks
mengendarai dan hafal situasi jalur Jakarta–Bandung? Jawabannya kita pasti
tahu: itu karena kebiasaan.
Mereka telah terbiasa setiap hari melewati rute itu
sehingga anggota tubuhnya merekam situasi dan keadaan yang dilaluinya. Begitu
juga orang yang dulu pernah mahir bermain ping-pong atau bermain badminton,
ketika dia sudah tua, meskipun sudah meninggalkan kebiasaan itu selama puluhan
tahun, pasti dia akan sanggup memainkannya kembali. Mungkin gerakan dan tingkat
kelihaiannya berbeda dengan masa mudanya, tetapi kemampuan dan teknik dasar
bermainnya tentu akan terlihat.Jadi, kebiasaan masa lalu tak akan mudah
terlupakan karena tubuh ini merekam secara kuat apa yang pernah menjadi
kebiasaan dan kesukaan atau hobi.
Cerita di atas menyimpan pesan yang sangat dalam.
Bahwa hendaknya kita membiasakan berpikir, berbicara, dan berbuat yang
baik-baik, agar ketika sakit atau menjelang ajal nanti, rekaman kebaikan itu
yang akan menemani dan mengawal kita menempuh perjalanan lebih lanjut. Coba
renungkan, ada kejadian pada orangtua yang menjelang ajal, tetapi sangat-angat
sulit untuk mengucapkan zikir seperti tahlil, tahmid, takbir. Hal ini
disebabkan di masa hidupnya bacaan-bacaan zikir itu sangat asing, hati dan
lidahnya tidak memiliki rekaman zikir.
Dia tidak mempunyai memori yang dapat membangkitkan
kesadarannya untuk mengucapkan kalimah tayyibahitu menjelang ajalnya.
Sebaliknya,sering kali saya menyaksikan bagaimana mudahnya seseorang
mengucapkan zikir atau membaca asmaul husna pada saat menjelang kematiannya.Ini
lantaran dia telah terbiasa untuk mengucapkan kalimat itu di masa hidupnya. Dia
telah membiasakan diri untuk membasahi lidahnya dengan kalimat zikir.
Siang malam dia berzikir. Sebelum dan sesudah salat
dia berzikir. Ketika tersandung batu dia beristigfar. Ketika mendengar petir
dia bertasbih. Praktis, kalimat zikir telah menjadi bagian dari kebiasaannya
sehari-hari sehingga ketika ajal datang menjemput dia dengan mudah mengucapkan
kalimat zikir untuk menutup usianya. Karena itu, bagi orang yang mempunyai
kebiasaan buruk yang selalu mengucapkan kata-kata kotor di
masa hidupnya, bisa jadi menjelang sakaratul maut yang akan diingatnya hanya kata-kata kotor.
Orang yang biasa mengejek, mengomel, atau mencemooh
orang lain akan tertutup hatinya untuk mengucapkan kata-kata yang baik,
sebab rekaman atau memori hidupnya selalu dipenuhi dengan kebiasaan buruk itu.
Saya sering kali mendapatkan kisah-kisah nyata yang menceritakan hal itu.
Semoga kisah-kisah di atas dapat menjadi pelajaran berharga untuk menghadapi
kematian sehingga kita menjumpai Izrail dengan senyum persahabatan.
Mari kita membiasakan diri untuk melafalkan kata-kata yang
baik,selalu berzikir dan mengingat Allah SWT,membiasakan diri mengerjakan
salat, berpuasa dan bersedekah,serta berbuat baik kepada sesama,sebab semua itu
akan terekam dalam memori kita sepanjang hayat, baik saat hidup di dunia,
menjelang sakaratul maut, atau setelah kematian kita. Husnul khatimah
(pengujung yang baik) di masa kematian kita itu tidak bisa diraih dengan
tiba-tiba.
Ia tak bisa dipaksa dan dibimbing oleh orang lain
dengan mudah karena diri kitalah yang menentukan apakah kita sanggup
mendapatkan akhir yang baik atau tidak. Husnul khatimah merupakan akumulasi
dari perjalanan panjang seseorang di masa hidupnya. Rekam jejak kehidupan
seseorang menentukan hasil akhir dari perjalanan hidupnya di dunia.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar