Bagi yang
mudah lupa, maka saya ulang
Kafir =
Menolak Kebenaran [ Kafir SAMA DENGAN menolak kebenaran]
Jadi barang
siapa saja yang menolak kebenaran, entah dia punya agama ataupun tidak maka dia
adalah kafir.
Persoalannya adalah, apa yang disebut dengan benar dan apa yang disebut dengan kebenaran ? Saya rasa kita harus menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu sebelum kita bisa mengatakan “kafir” atau “tidak kafir”.
Persoalannya adalah, apa yang disebut dengan benar dan apa yang disebut dengan kebenaran ? Saya rasa kita harus menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu sebelum kita bisa mengatakan “kafir” atau “tidak kafir”.
Dengan
menjawab pertanyaan itu maka kita akan menjadi lebih mudah untuk
mengenali siapa yang telah menolak “kebenaran” tersebut?
Jawaban
untuk itu tentu panjang dan bisa berpanjang-panjang jika tidak dibatasi dengan ilmu logika, dan
menurut ilmu logika asas
kebenaran itu ada 2 :
1. Adanya
persamaan antara KENYATAAN dengan STATEMENT.
2. Tidak terjadi KONTRADIKSI antara 2 pernyataan yang sama.
2. Tidak terjadi KONTRADIKSI antara 2 pernyataan yang sama.
Itu tok,
Tapi….
Bagaimana
kita bisa MENGETAHUI yang mana
yang sama antara KENYATAAN dengan STATEMENT dan yang mana yang berbeda antara
KENYATAAN dengan STATEMENT seperti yang dimaksudkan pada asas nomor 1
diatas, yakni asas “Adanya persamaan antara KENYATAAN dengan STATMENT?”
Untuk MENGETAHUI itu, kita
perlu beberapa alat lagi setelah logika, yakni epistemologi, filsafat
dan irfan. Untuk
mengurai itu tentu akan menjadi lebih panjang lagi, namun demikian kita bisa
mamasuki persoalan itu secara bertahap, yakni langkah demi langkah.
Untuk
menjawab pertanyaan itu tentu kita akan mulai dari langkah pertama dulu, yakni
dengan menjawab apakah yang dimaksud dengan “Tahu” atau “Mengetahui” ?
“Tahu” atau “mengetahui” adalah sebuah kondisi kesadaran, yaitu kesadaran penuh atas sesuatu sehingga denganya hilang sudah semua keraguan kita terhadap persoalan tersebut.
“Tahu” atau “mengetahui” adalah sebuah kondisi kesadaran, yaitu kesadaran penuh atas sesuatu sehingga denganya hilang sudah semua keraguan kita terhadap persoalan tersebut.
Misalnya,
jika ada yang mengatakan bahwa ” 4 + 4 = 8″, maka kita disebut “mengetahui” persolan
tersebut jika kita tahu apakah itu benar atau salah. Jika kita mengatakan 4+4=8
adalah benar DAN mantap! maka kita disebut MENGETAHUI. Tetapi
jika kita mengatakan bahwa 4+4=8 dan kita ragu-ragu maka
sesungguhnya kita belumlah mengetahui persoalan.
Karenanya,
garis tegas antara mengetahui dan TIDAK mengetahui adalah di
titik “ragu”nya. Orang
disebut mengetahui persoalan
jika baginya persoalan itu sudah jelas dan tidak ada keraguan lagi didalamnya.
Walaupun orang yang kita hormati seperti guru, orang tua, ustadz, pendeta atau
siapapun yang mengatakan bahwa 4+4=23 maka kita tidak akan ragu untuk
mengatakan bahwa hal seperti itu adalah salah, yang betul adalah 4+4=8.
Jika kita ragu untuk
memastikan bahwa 4+4=8, maka kita bukanlah termasuk orang-orang yang mengetahui disekitar
persoalan 4+4 tersebut.
Pun demikian
untuk persoalan kafir dan TIDAK kafir, jika kita sudah tahu 100% dan tidak ragu terhadap
sebuah persoalan, maka kita akan tegas dan mantap untuk mengatakan bahwa saya
MENERIMA PERSOALAN ini dan yang itu yang saya sudah ketahui 100% kebenarannya
sebagaimana saya mengetahui 4+4=8.
Namun, jika
kita tidak mengetahui 100%
seputar persoalan yang dibicarakan orang dan masih ragu-ragu tentang
persoalan tersebut, maka adalah kurang bijak kalau kita langsung MENERIMA atau
MENOLAK persoalan yang tidak kita ketahui tersebut. Konon lagi kalau kita
betul-betul TIDAK MENGETAHUI persoalan
yang dibicarakan orang lantas kita langsung main TOLAK mentah-mentah, maka
sangat besar peluang kita menjadi orang kafir, yakni orang yang menolak
kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar