Kamis, 13 Juni 2013

KAFIR






Bagi yang mudah lupa, maka saya ulang
Kafir = Menolak Kebenaran [ Kafir SAMA DENGAN menolak kebenaran]
Jadi barang siapa saja yang menolak kebenaran, entah dia punya agama ataupun tidak maka dia adalah kafir.
Persoalannya adalah, apa yang disebut dengan benar dan apa yang disebut dengan kebenaran ? Saya rasa kita harus menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu sebelum kita bisa mengatakan “kafir” atau “tidak kafir”.
Dengan menjawab pertanyaan itu maka kita akan menjadi  lebih mudah untuk mengenali siapa yang telah menolak “kebenaran” tersebut?
Jawaban untuk itu tentu panjang dan bisa berpanjang-panjang jika tidak dibatasi dengan ilmu logika, dan menurut ilmu logika asas kebenaran itu ada 2 :
1. Adanya persamaan antara KENYATAAN dengan STATEMENT.
2. Tidak terjadi KONTRADIKSI antara 2 pernyataan yang sama.
Itu tok,
Tapi….
Bagaimana kita bisa MENGETAHUI yang mana yang sama antara KENYATAAN dengan STATEMENT dan yang mana yang berbeda antara KENYATAAN dengan STATEMENT  seperti yang dimaksudkan pada asas nomor 1 diatas, yakni asas “Adanya persamaan antara KENYATAAN dengan STATMENT?”
Untuk MENGETAHUI itu, kita perlu beberapa alat lagi setelah logika, yakni epistemologi, filsafat dan irfan. Untuk mengurai itu tentu akan menjadi lebih panjang lagi, namun demikian kita bisa mamasuki persoalan itu secara bertahap, yakni langkah demi langkah.
Langkah pertama adalah dengan mengajukan pertanyaan, apakah yang disebut dengan Pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan itu tentu kita akan mulai dari langkah pertama dulu, yakni dengan menjawab apakah yang dimaksud dengan “Tahu” atau “Mengetahui” ?
“Tahu” atau “
mengetahui” adalah sebuah kondisi kesadaran, yaitu kesadaran penuh atas sesuatu sehingga denganya hilang sudah semua keraguan kita terhadap persoalan tersebut.
Misalnya, jika ada yang mengatakan bahwa ” 4 + 4 = 8″, maka kita disebut “mengetahui” persolan tersebut jika kita tahu apakah itu benar atau salah. Jika kita mengatakan 4+4=8 adalah benar DAN mantap! maka kita disebut MENGETAHUI. Tetapi jika kita mengatakan bahwa 4+4=8 dan kita ragu-ragu maka sesungguhnya kita belumlah mengetahui persoalan.
Karenanya, garis tegas antara mengetahui dan TIDAK mengetahui adalah di titik “ragu”nya. Orang disebut mengetahui persoalan jika baginya persoalan itu sudah jelas dan tidak ada keraguan lagi didalamnya. Walaupun orang yang kita hormati seperti guru, orang tua, ustadz, pendeta atau siapapun yang mengatakan bahwa 4+4=23 maka kita tidak akan ragu untuk mengatakan bahwa hal seperti itu adalah salah, yang betul adalah 4+4=8.
Jika kita ragu untuk memastikan bahwa 4+4=8, maka kita bukanlah termasuk orang-orang yang mengetahui disekitar persoalan 4+4 tersebut.
Pun demikian untuk persoalan kafir dan TIDAK kafir, jika kita sudah tahu 100% dan tidak ragu terhadap sebuah persoalan, maka kita akan tegas dan mantap untuk mengatakan bahwa saya MENERIMA PERSOALAN ini dan yang itu yang saya sudah ketahui 100% kebenarannya sebagaimana saya mengetahui 4+4=8.

Namun, jika kita  tidak mengetahui 100% seputar persoalan yang dibicarakan orang dan masih ragu-ragu tentang persoalan tersebut, maka adalah kurang bijak kalau kita langsung MENERIMA atau MENOLAK persoalan yang tidak kita ketahui tersebut. Konon lagi kalau kita betul-betul TIDAK MENGETAHUI persoalan yang dibicarakan orang lantas kita langsung main TOLAK mentah-mentah, maka sangat besar peluang kita menjadi orang kafir, yakni orang yang menolak kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar