Jumat, 14 Juni 2013

Ngomongin Tuhan sama dengan ngomongin yang ga Jelas?





Witgenstein dan Moore bilang bahwa sebuah persoalan dikatakan berguna jika yang di omongkan itu jelas, jelas mana “barangnya” dan mana orangnya . Kata mereka, sebuah pernyataan akan berarti ( ada artinya ) jika kata-kata yang digunakan untuk membuat pernyataan itu mempunyai reference, artinya lebih kurang adalah jika kita mengatakan “Tikus masuk got”, maka kita harus bisa mengidentifikasinya secara emphiris, “mana barangnya”??.
Mana yang disebut dengan “Tikus” dan apa yang disebut dengan “got”.
Artinya kira-kiranya begini, kata “tikus” adalah untuk menyebut benda yang ini. Kata “got” adalah untuk benda yang itu.  Harus gitu, harus jelas mana “barangnya”. Kalau tidak begitu maka semuanya hanya akan menjadi omongan sia-sia saja, apalagi kalau yang diomongin itu sudah nyangkut-nyangkut masalah yang rumit.
Masak ada orang yang bilang eksistensi itu artinya adalah ini dan yang lain mengatakan artinya adalah itu. Ada yang bilang horizon itu artinya begini dan ada yang bilang artinya adalah begitu.
Kalau urusan dipasar loak sih mungkin tidak menjadi persoalan tetapi kalau sudah menjadi urusan ilmiah, apalagi urusan yang penting-penting maka hal seperrti ini tidak bisa di tolerir dan tidak bisa dikatakan ilmiah. Harusnya tidak perlu ada perbedaan pengertian antara sebuah “proper name” dengan benda realnya.
Kalau saya di Italia mengatakan kucing, maka arti kucing harusnya sama saja dengan di Prancis, Indonesia dan disemua negara bahwa yang disebut dengan kucing itu bendanya adalah yang ini, titik. Ga ada tafsir yang lain-lain lagi.
Karena itu, kata Witgenstein dan Moore lagi, kita harus bikin bahasa yang lebih canggih, yang mampu untuk memecahkan persoalan multi tafir itu, kita harus membuat apa yang disebut dengan “perpect language”. Caranya? Caranya adalah dengan membuat referensi real semua kalimat.  Kalau saya katakan mobil, maka refensi tentang mobil itu adalah yang itu, barangnya yang itu. Kalau saya katakan “sepeda” maka barangnya adalah yang ini. Ini barangnya dan barangnya memang ada. Ada secara real…
Lha? lantas bagaimana kalau barangnya ga ada? misalnya angin? atmosfir dan lain-lain? masak “barang” seperti itu ga ada?
Bukan begitu kata Witgenstein, “barang-barang” seperti itu tetap dianggap ada, yang saya maksud “real refence” adalah semua hal yang mau kita sebut itu haruslah bisa tersentuh dengan indra. Jadi kalau kita mengatakan “angin” maka barangnya adalah yang ini, tapi kalau kita sebut “udara” maka barangnya adalah yang itu, selanjutnya kalau kita mau menyebut “gas” maka yang disana itu dan kalau kita mau menyebut “nafas” adalah yang dihidung saya ini dan seterusnya…
Kalau kita simak teorinya Pak Witgenstein ini dan kita teruskan, bagaimana ya caranya dia untuk membuat refensi untuk kata-kata yang berhubungan dengan :
Tuhan (subject of theology),
Existensi (subject of metaphisics),
Kebaikan, Keburukan dan lain2 (subject of ethics)
Karena Tuhan, Eksistensi, Kebaikan, Keburukan dan lain itu “barangnya” ga ada, maka bisa disimpulkan bahwa menurut Pak Witgenstein bahwa ngomongin tentang Teologi, metafisik dan etik sama saja tidak berguna?
Ada yang punya pendapat ?
Bagaimana kita membuat dan proper name untuk kata “terimakasih” jika barang yang bernama “terimakasih” itu ga ada di toko atau di alam nyata?.

Bagaimana kita membaut proper name untuk  Tuhan jika “barang” yang bernama Tuhan itu tidak ada di toko dan dialam nyata yang bisa tersentuh indra?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar