Witgenstein
dan Moore bilang bahwa sebuah persoalan dikatakan berguna jika yang di omongkan
itu jelas, jelas mana “barangnya” dan mana orangnya
. Kata mereka,
sebuah pernyataan akan berarti ( ada artinya ) jika kata-kata yang
digunakan untuk membuat pernyataan itu mempunyai reference, artinya lebih
kurang adalah jika kita mengatakan “Tikus masuk got”, maka kita harus bisa
mengidentifikasinya secara emphiris, “mana barangnya”??.
Mana yang
disebut dengan “Tikus” dan apa yang disebut dengan “got”.
Artinya
kira-kiranya begini, kata “tikus”
adalah untuk menyebut benda yang ini. Kata “got”
adalah untuk benda yang itu. Harus gitu, harus jelas mana “barangnya”.
Kalau tidak begitu maka semuanya hanya akan menjadi omongan sia-sia saja,
apalagi kalau yang diomongin itu sudah nyangkut-nyangkut masalah yang rumit.
Masak ada
orang yang bilang eksistensi itu artinya adalah ini dan yang lain mengatakan
artinya adalah itu. Ada yang bilang horizon itu artinya begini dan ada yang
bilang artinya adalah begitu.
Kalau urusan
dipasar loak sih mungkin tidak menjadi persoalan tetapi kalau sudah menjadi
urusan ilmiah, apalagi urusan yang penting-penting maka hal seperrti ini tidak
bisa di tolerir dan tidak bisa dikatakan ilmiah. Harusnya tidak perlu ada
perbedaan pengertian antara sebuah “proper name” dengan benda realnya.
Kalau saya
di Italia mengatakan kucing, maka arti kucing harusnya sama saja dengan di
Prancis, Indonesia dan disemua negara bahwa yang disebut dengan kucing itu
bendanya adalah yang ini, titik. Ga ada tafsir yang lain-lain lagi.
Karena itu, kata Witgenstein
dan Moore lagi, kita harus bikin bahasa yang lebih canggih, yang mampu untuk
memecahkan persoalan multi tafir itu, kita harus membuat apa yang disebut
dengan “perpect language”. Caranya? Caranya adalah dengan membuat referensi
real semua kalimat. Kalau saya katakan mobil, maka refensi tentang mobil
itu adalah yang itu, barangnya yang itu. Kalau saya katakan “sepeda” maka
barangnya adalah yang ini. Ini barangnya dan barangnya memang ada. Ada secara
real…
Lha? lantas
bagaimana kalau barangnya ga ada? misalnya angin? atmosfir dan lain-lain? masak
“barang” seperti itu ga ada?
Bukan begitu
kata
Witgenstein, “barang-barang” seperti itu tetap dianggap ada, yang saya maksud
“real refence” adalah semua hal yang mau kita sebut itu haruslah bisa tersentuh
dengan indra. Jadi kalau kita mengatakan “angin” maka barangnya adalah yang
ini, tapi kalau kita sebut “udara” maka barangnya adalah yang itu, selanjutnya
kalau kita mau menyebut “gas” maka yang disana itu dan kalau kita mau menyebut “nafas”
adalah yang dihidung saya ini dan seterusnya…
Kalau kita
simak teorinya Pak Witgenstein ini dan kita teruskan, bagaimana ya caranya dia
untuk membuat refensi untuk kata-kata yang
berhubungan dengan :
Tuhan
(subject of theology),
Existensi (subject of metaphisics),
Kebaikan, Keburukan dan lain2 (subject of ethics)
Existensi (subject of metaphisics),
Kebaikan, Keburukan dan lain2 (subject of ethics)
Karena
Tuhan, Eksistensi, Kebaikan, Keburukan dan lain itu “barangnya” ga ada, maka
bisa disimpulkan bahwa menurut Pak Witgenstein bahwa ngomongin tentang Teologi,
metafisik dan etik sama saja tidak berguna?
Ada yang
punya pendapat ?
Bagaimana
kita membuat dan proper name untuk kata
“terimakasih” jika barang yang bernama “terimakasih” itu ga ada di toko atau di
alam nyata?.
Bagaimana
kita membaut proper name untuk Tuhan jika “barang” yang bernama Tuhan itu
tidak ada di toko dan dialam nyata yang bisa tersentuh indra?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar