Burhan in the vacation
Jumat, 14 Juni 2013
Ketika Cinta Bertanya
ketika malam telah tiba
dengan kesunyian yang amat tenang
ku mimpikan dirimu
yang melukiskan kisahkita bersama
dan timbul pertannyaan dalam benak ku
adakah aku dalam mimpimu??
memang
dihatiku, slalu terukir namamu
namun akupun slalu bertanya
apakah aku juga ada d hatimu
alunan-alunan yang sendu ini hanya untuk mu
tlah ku bisikan cerita-cerita gelapku
tlah ku abaikan juga mimpi-mimpi dan ambisiku
tapi, mengapa ???
aku tak pernah bisa menyentuh hatimu lagi
bila saja aku ada di sisimu
akan ku beri kau segalanya andy_fikar
naman tak henti aku bertanya
adakah aku d hatimu??
dengan kesunyian yang amat tenang
ku mimpikan dirimu
yang melukiskan kisahkita bersama
dan timbul pertannyaan dalam benak ku
adakah aku dalam mimpimu??
memang
dihatiku, slalu terukir namamu
namun akupun slalu bertanya
apakah aku juga ada d hatimu
alunan-alunan yang sendu ini hanya untuk mu
tlah ku bisikan cerita-cerita gelapku
tlah ku abaikan juga mimpi-mimpi dan ambisiku
tapi, mengapa ???
aku tak pernah bisa menyentuh hatimu lagi
bila saja aku ada di sisimu
akan ku beri kau segalanya andy_fikar
naman tak henti aku bertanya
adakah aku d hatimu??
Ngomongin Tuhan sama dengan ngomongin yang ga Jelas?
Witgenstein
dan Moore bilang bahwa sebuah persoalan dikatakan berguna jika yang di omongkan
itu jelas, jelas mana “barangnya” dan mana orangnya
. Kata mereka,
sebuah pernyataan akan berarti ( ada artinya ) jika kata-kata yang
digunakan untuk membuat pernyataan itu mempunyai reference, artinya lebih
kurang adalah jika kita mengatakan “Tikus masuk got”, maka kita harus bisa
mengidentifikasinya secara emphiris, “mana barangnya”??.
Mana yang
disebut dengan “Tikus” dan apa yang disebut dengan “got”.
Artinya
kira-kiranya begini, kata “tikus”
adalah untuk menyebut benda yang ini. Kata “got”
adalah untuk benda yang itu. Harus gitu, harus jelas mana “barangnya”.
Kalau tidak begitu maka semuanya hanya akan menjadi omongan sia-sia saja,
apalagi kalau yang diomongin itu sudah nyangkut-nyangkut masalah yang rumit.
Masak ada
orang yang bilang eksistensi itu artinya adalah ini dan yang lain mengatakan
artinya adalah itu. Ada yang bilang horizon itu artinya begini dan ada yang
bilang artinya adalah begitu.
Kalau urusan
dipasar loak sih mungkin tidak menjadi persoalan tetapi kalau sudah menjadi
urusan ilmiah, apalagi urusan yang penting-penting maka hal seperrti ini tidak
bisa di tolerir dan tidak bisa dikatakan ilmiah. Harusnya tidak perlu ada
perbedaan pengertian antara sebuah “proper name” dengan benda realnya.
Kalau saya
di Italia mengatakan kucing, maka arti kucing harusnya sama saja dengan di
Prancis, Indonesia dan disemua negara bahwa yang disebut dengan kucing itu
bendanya adalah yang ini, titik. Ga ada tafsir yang lain-lain lagi.
Karena itu, kata Witgenstein
dan Moore lagi, kita harus bikin bahasa yang lebih canggih, yang mampu untuk
memecahkan persoalan multi tafir itu, kita harus membuat apa yang disebut
dengan “perpect language”. Caranya? Caranya adalah dengan membuat referensi
real semua kalimat. Kalau saya katakan mobil, maka refensi tentang mobil
itu adalah yang itu, barangnya yang itu. Kalau saya katakan “sepeda” maka
barangnya adalah yang ini. Ini barangnya dan barangnya memang ada. Ada secara
real…
Lha? lantas
bagaimana kalau barangnya ga ada? misalnya angin? atmosfir dan lain-lain? masak
“barang” seperti itu ga ada?
Bukan begitu
kata
Witgenstein, “barang-barang” seperti itu tetap dianggap ada, yang saya maksud
“real refence” adalah semua hal yang mau kita sebut itu haruslah bisa tersentuh
dengan indra. Jadi kalau kita mengatakan “angin” maka barangnya adalah yang
ini, tapi kalau kita sebut “udara” maka barangnya adalah yang itu, selanjutnya
kalau kita mau menyebut “gas” maka yang disana itu dan kalau kita mau menyebut “nafas”
adalah yang dihidung saya ini dan seterusnya…
Kalau kita
simak teorinya Pak Witgenstein ini dan kita teruskan, bagaimana ya caranya dia
untuk membuat refensi untuk kata-kata yang
berhubungan dengan :
Tuhan
(subject of theology),
Existensi (subject of metaphisics),
Kebaikan, Keburukan dan lain2 (subject of ethics)
Existensi (subject of metaphisics),
Kebaikan, Keburukan dan lain2 (subject of ethics)
Karena
Tuhan, Eksistensi, Kebaikan, Keburukan dan lain itu “barangnya” ga ada, maka
bisa disimpulkan bahwa menurut Pak Witgenstein bahwa ngomongin tentang Teologi,
metafisik dan etik sama saja tidak berguna?
Ada yang
punya pendapat ?
Bagaimana
kita membuat dan proper name untuk kata
“terimakasih” jika barang yang bernama “terimakasih” itu ga ada di toko atau di
alam nyata?.
Bagaimana
kita membaut proper name untuk Tuhan jika “barang” yang bernama Tuhan itu
tidak ada di toko dan dialam nyata yang bisa tersentuh indra?
HOLOGRAM
Pada tahun 1982 terjadi suatu peristiwa yang menarik.
Di Universitas Paris, sebuah tim peneliti dipimpin oleh Alain Aspect melakukan
suatu eksperimen yang mungkin merupakan eksperimen yang paling penting di abad ke-20.
Anda tidak mendapatkannya dalam berita malam. Malah, kecuali Anda biasa membaca
jurnal-jurnal ilmiah, Anda mungkin tidak pernah mendengar nama Aspect,
sekalipun sementara orang merasa temuannya itu mungkin akan mengubah wajah
sains.
Aspect bersama timnya menemukan bahwa dalam lingkungan
tertentu partikel-partikel subatomik, seperti elektron, mampu berkomunikasi
dengan seketika satu sama lain tanpa tergantung pada jarak yang memisahkan
mereka. Tidak ada bedanya apakah mereka terpisah 10 kaki atau 10 milyar km satu
sama lain.
Entah bagaimana, tampaknya setiap partikel selalu tahu
apa yang dilakukan oleh partikel lain. Masalah yang ditampilkan oleh temuan ini
adalah bahwa hal itu melanggar prinsip Einstein yang telah lama dipegang, yakni
bahwa tidak ada komunikasi yang mampu berjalan lebih cepat daripada kecepatan
cahaya. Oleh karena berjalan melebihi kecepatan cahaya berarti menembus dinding
waktu, maka prospek yang menakutkan ini menyebabkan sementara ilmuwan fisika
mencoba menyusun teori yang dapat menjelaskan temuan Aspect. Namun hal itu juga
mengilhami sementara ilmuwan lain untuk menyusun teori yang lebih radikal lagi.
Pakar fisika teoretik dari Universitas London, David
Bohm, misalnya, yakin bahwa temuan Aspect menyiratkan bahwa realitas obyektif
itu tidak ada; bahwa sekalipun tampaknya pejal [solid], alam semesta ini pada
dasarnya merupakan khayalan, suatu hologram raksasa
yang terperinci secara sempurna.
Untuk memahami mengapa Bohm sampai membuat pernyataan
yang mengejutkan ini, pertama-tama kita harus memahami sedikit tentang hologram. Sebuah hologram adalah
suatu potret tiga dimensional yang dibuat dengan sinar laser. Untuk membuat hologram, obyek yang
akan difoto mula-mula disinari dengan suatu sinar laser. Lalu sinar laser kedua
yang dipantulkan dari sinar pertama ditujukan pula kepada obyek tersebut, dan
pola interferensi yang terjadi (bidang tempat kedua sinar laser itu bercampur)
direkam dalam sebuah pelat foto. Ketika pelat itu dicuci, gambar terlihat
sebagai pusaran-pusaran garis-garis terang dan gelap. Tetapi ketika foto itu
disoroti oleh sebuah sinarlaser lagi, muncullah gambar tiga dimensional dari
obyek semula di situ.
Sifat tiga dimensi dari gambar seperti itu bukan
satu-satunya sifat yang menarik dari hologram. Jika hologram sebuah
bunga mawar dibelah dua dan disoroti oleh sebuah sinar laser, masing-masing
belahan itu ternyata masih mengandung gambar mawar itu secara lengkap (tetapi
lebih kecil). Bahkan, jika belahan itu dibelah lagi, masing-masing potongan
foto itu ternyata selalu mengandung gambar semula yanglengkap sekalipun lebih
kecil. Berbeda dengan foto yang biasa, setiap bagian sebuah hologram mengandung
semua informasi yang ada pada hologram secara
keseluruhan.
Sifat “keseluruhan di dalam setiap bagian” dari sebuah
hologram, memberikan
kepada kita suatu cara pemahaman yang sama sekali baru terhadap organisasi dan
order. Selama sebagian besar sejarahnya, sains Barat bekerja di bawah prinsip
yang bias, yakni bahwa cara terbaik untuk memahami fenomena fisikal –baik
seekor katak atau sebuah atom– adalah dengan memotong-motongnya dan meneliti
bagian-bagiannya.
Sebuah hologram mengajarkan
bahwa beberapa hal dari alam semesta ini mungkin tidak akan terungkap dengan
pendekatan itu. Jika kita mencoba menguraikan sesuatu yang tersusun secara
holografik, kita tidak akan mendapatkan bagian-bagian yang membentuknya,
melainkan kita akan mendapatkan keutuhan yang lebih kecil.
Pencerahan ini menuntun Bohm untuk memahami secara
lain temuan Aspect. Bohm yakin bahwa alasan mengapa partikel-partikel subatomik
mampu berhubungan satu sama lain tanpa terpengaruh oleh jarak yang memisahkan
mereka adalah bukan karena mereka mengirimkan isyarat misterius bolak-balik di
antara satu sama lain, melainkan oleh karena keterpisahan mereka adalah ilusi.
Bohm berkilah, bahwa pada suatu tingkat realitas yang lebih dalam,
partikel-partikel seperti itu bukanlah entitas-entitas individual, melainkan
merupakan perpanjangan [extension] dari sesuatu yang esa dan fundamental.
Agar khalayak lebih mudah membayangkan apa yang
dimaksudkannya, Bohm memberikan ilustrasi berikut:
Bayangkan sebuah akuarium yang mengandung seekor ikan.
Bayangkan juga bahwa Anda tidak dapat melihat akuarium itu secara langsung, dan
bahwa pengetahuan Anda
tentang akuarium itu beserta apa yang terkandung di dalamnya datang dari dua
kamera televisi: yang sebuah ditujukan ke sisi depan akuarium, dan yang lain
ditujukan ke sisinya.
Ketika Anda menatap kedua layar televisi, Anda mungkin
menganggap bahwa ikan yang ada pada masing-masing layar itu adalah dua ikan yang
berbeda. Bagaimana pun juga, karena kedua kamera diarahkan dengan sudut yang
berbeda, masing-masing gambar ikan itu sedikit berbeda satu sama lain. Tetapi
sementara Anda terus memandang kedua ikan itu, akhirnya Anda akan menyadari
bahwa ada hubungan tertentu di antara kedua ikan itu.
Kalau yang satu berbelok, yang lain juga membuat
gerakan yang berbeda tapi sesuai; jika yang satu menghadap kamera, yang lain
menghadap ke suatu sisi. Jika Anda tidak menyadari seluruh situasinya, Anda
mungkin menyimpulkan bahwa kedua ikan itu saling berkomunikasi secara seketika,
tetapi jelas bukan demikian halnya.
Menurut Bohm, inilah sesungguhnya yang terjadi di
antara partikel-partikel subatomik dalam eksperimen Aspect itu. Menurut Bohm,
hubungan yang tampaknya “lebih cepat dari cahaya” di antara partikel-partikel
subatomik sesungguhnya mengatakan kepada kita bahwa ada suatu tingkat realitas
yang lebih dalam, yang selama ini tidak kita kenal, suatu dimensi yang lebih
rumit di luar dimensi kita, dimensi yang beranalogi dengan akuarium itu.
Tambahnya, kita memandang obyek-obyek seperti partikel-partikel subatomik
sebagai terpisah satu sama lain oleh karena kita hanya memandang satu bagian
dari realitas sesungguhnya.
Partikel-partikel seperti itu bukanlah “bagian-bagian”
yang terpisah, melainkan faset-faset dari suatu kesatuan (keesaan) yang lebih
dalam dan lebih mendasar, yang pada akhirnya bersifat holografik dan tak
terbagi-bagi seperti gambar mawar di atas. Dan oleh karena segala sesuatu dalam
realitas fisikal terdiri dari apa yang disebut “eidolon-eidolon” ini, maka alam
semesta itu sendiri adalah suatu proyeksi, suatu hologram. Di samping
hakekatnya yang seperti bayangan, alam semesta itu memiliki sifat-sifat lain
yang cukup mengejutkan. Jika keterpisahan yang tampak di antara
partikel-partikel subatomik itu ilusif, itu berarti pada suatu tingkat realitas
yang lebih dalam segala sesuatu di alam semesta ini saling berhubungan secara
tak terbatas.
Elektron-elektron didalam atom karbon dalam otak
manusia berhubungan dengan partikel-partikel subatomik yang membentuk setiap
ikan salem yang berenang, setiap jantung yang berdenyut, dan setiap bintang
yang berkilauan di angkasa. Segala sesuatu meresapi segala sesuatu; dan
sekalipun sifat manusia selalu mencoba memilah-milah, mengkotak-kotakkan dan
membagi-bagi berbagai fenomena di alam semesta, semua pengkotakan itu mau tidak
mau adalah artifisial, dan segenap alam semesta ini pada akhirnya merupakan
suatu jaringan tanpa jahitan.
Di dalam sebuah alam semesta yang holografik, bahkan
waktu dan ruang tidak dapat lagi dipandang sebagai sesuatu yang fundamental.
Oleh karena konsep-konsep seperti ‘lokasi’ runtuh di dalam suatu alam semesta
yang di situ tidak ada lagi sesuatu yang terpisah dari yang lain, maka waktu
dan ruang tiga dimensional –seperti gambar-gambar ikan pada layar-layar TV di
atas– harus dipandang sebagai proyeksi dari order yang lebih dalam lagi.
Pada tingkatan yang lebih dalam, realitas merupakan
semacam superhologram yang di situ masa lampau, masa kini, dan masa depan semua
ada (berlangsung) secara serentak. Ini mengisyaratkan bawah dengan peralatan
yang tepat mungkin di masa depanorang bisa menjangkau ke tingkatan realitas
superholografik itu dan mengambil adegan-adegan dari masa lampau yang
terlupakan.
Apakah ada lagi yang terkandung dalam superhologram
itu merupakan pertanyaan terbuka. Bila diterima –dalam diskusi ini– bahwa
superhologram itu merupakan matriks yang melahirkan segala sesuatu dalam alam
semesta kita, setidak-tidaknya ia mengandung setiap partikel subatomik yang
pernah ada dan akan ada — setiap konfigurasi materi dan energi yang mungkin,
dari butiran salju sampai quasar, dari ikan paus biru sampai sinar gamma. Itu
bisa dilihat sebagai gudang kosmik dari “segala yang ada”.
Sekalipun Bohm mengakui bahwa kita tidak mempunyai
cara untuk mengetahui apa lagi
yang tersembunyi di dalam superhologram itu, ia juga mengatakan bahwa kita
tidak mempunyai alasan bahwa superhologram itu tidak mengandung apa-apa lagi.
Atau, seperti dinyatakannya, mungkin tingkat realitas superholografik itu
“sekadar satu tingkatan”, yang di luarnya terletak “perkembangan lebih lanjut
yang tak terbatas.”
Bohm bukanlah satu-satunya peneliti yang menemukan
bukti-bukti bahwa alam semesta ini merupakan hologram. Dengan
bekerja secara independen di bidang penelitian otak, pakar neurofisiologi Karl
Pribram dari Universitas Stanford, juga menerima sifat holografik dari
realitas.
Pribram tertarik kepada model holografik oleh
teka-teki bagaimana dan di mana ingatan tersimpan di dalam otak. Selama puluhan
tahun berbagai penelitian menunjukkan bahwa alih-alih tersimpan dalam suatu
lokasi tertentu, ingatan tersebar di seluruh bagian otak.
Dalam serangkaian penelitian yang bersejarah pada
tahun 1920-an, ilmuwan otak Karl Lashley menemukan bahwa tidak peduli bagian
mana dari otak tikus yang diambilnya, ia tidak dapat menghilangkan ingatan
untuk melakukan tugas-tugas rumit yang pernah dipelajari tikus itu sebelum
dioperasi. Masalahnya ialah tidak seorang pun dapat menjelaskan mekanisme
penyimpanan ingatan yang bersifat “semua di dalam setiap bagian” yang aneh ini.
Lalu pada tahun 1960-an Pribram membaca konsep
holografi dan menyadari bahwa ia telah menemukan penjelasan yang telah lama
dicari-cari oleh para ilmuwan otak. Pribram yakin bahwa ingatan terekam bukan
di dalam neuron-neuron (sel-sel otak), melainkan di dalam pola-pola impuls
saraf yang merambah seluruh otak, seperti pola-pola interferensi sinar laser
yang merambah seluruh wilayah pelat film yang mengandung suatu gambar
holografik.
Dengan kata lain,
Pribram yakin bahwa otak itu sendiri merupakan sebuah hologram. Teori
Pribram juga menjelaskan bagaimana otak manusia dapat menyimpan begitu banyak
ingatan dalam ruang yang begitu kecil. Pernah diperkirakan bahwa otak manusia
mempunyai kapasitas mengingat sekitar 10 milyar bit informasi selama masa hidup
manusia rata-rata (atau kira-kira sebanyak informasi yang terkandung dalam lima
set Encyclopaedia Britannica).
Demikian pula telah ditemukan bahwa di samping
sifat-sifatnya yang lain, hologram mempunyai
kapasitas untuk menyimpan informasi — hanya dengan mengubah sudut kedua sinar
laser itu jatuh pada permukaan pelat film, dimungkinkan untuk merekam banyak
gambar berbeda pada permukaan yang sama. Telah dibuktikan bahwa satu sentimeter
kubik pelat film dapat menyimpan sebanyak 10 milyar bit informasi.
Kemampuan mengagumkan dari manusia untuk mengambil
informasi yang diperlukan dari gudang ingatan yang amat besar itu dapat lebih
dipahami jika otak berfungsi menurut prinsip-prinsip holografik. Jika seorang
teman minta Anda mengatakan apa yang terlintas dalam pikiran ketika ia
menyebut “zebra”, Anda tidak perlu tertatih-tatih melakukan sorting dan mencari
dalam suatu file alfabetis raksasa dalam otak untuk sampai kepada suatu
jawaban. Alih-alih, berbagai asosiasi seperti “bergaris-garis” , “macam kuda”,
dan “binatang dari Afrika” semua muncul di kepala Anda dengan seketika.
Sesungguhnya, salah satu hal paling mengherankan tentang
proses berpikir manusia adalah bahwa setiap butir informasi tampaknya dengan
seketika berkorelasi- silang dengan setiap butir informasi lain– ini merupakan
sifat intrinsik dari hologram. Oleh
karena setiap bagian dari hologram saling
berhubungan secara tak terbatas satu sama lain, ini barangkali merupakan contoh
terbaik dari alam tentang suatu sistem yang saling berkorelasi.
Penyimpanan ingatan bukan satu-satunya teka-teki
neurofisiologis yang lebih dapat dijelaskan dengan model otak holografik
Pribram. Teka-teki lain adalah bagaimana otak mampu menerjemahkan serbuan
frekuensi-frekuensi yang diterimanya melalui pancaindra (frekuensi cahaya,
frekuensi suara, dan sebagainya) menjadi dunia konkrit dari persepsi manusia.
Merekam dan menguraikan kembali frekuensi adalah sifat terunggul dari sebuah hologram. Seperti hologram berfungsi
sebagai semacam lensa, alat yang menerjemahkan frekuensi-frekuensi kabur yang
tak berarti menjadi suatu gambar yang koheren, Pribram yakin bahwa otak juga
merupakan sebuah lensa yang menggunakan prinsip-prinsip holografik untuk secara
matematis mengubah frekuensi-frekuensi yang diterimanya melalui pancaindra
menjadi persepsi di dalam batin kita.
Sejumlah bukti yang mengesankan mengisyaratkan bahwa
otak menggunakan prinsip-prinsip holografik untuk menjalankan fungsinya.
Sesungguhnya, teori Pribram makin diterima di kalangan pakar neurofisiologi.
Peneliti Argentina-Italia, Hugo Zucarelli, baru-baru ini memperluas model
holografik ke dalam fenomena akustik. Menghadapi teka-teki bahwa manusia dapat
menetapkan sumber suara tanpa menggerakkan kepalanya, bahkan jika mereka hanya
memiliki pendengaran pada satu telinga saja, Zucarelli menemukan
prinsip-prinsip holografik dapat menjelaskan kemampuan ini. Zucarelli juga
mengembangkan teknologi suara holofonik, suatu teknik perekaman yang mampu
mereproduksi suasana akustik dengan realisme yang mengagumkan.
Keyakinan Pribram bahwa otak kita secara matematis
membangun realitas “keras” dengan mengandalkan diri pada masukan dari suatu
domain frekuensi juga telah mendapat dikungan sejumlah eksperimen. Telah ditemukan
bahwa masing-masing indra kita peka terhadap suatu bentangan frekuensi yang
jauh lebih lebar daripada yang dianggap orang sebelum ini. Misalnya, para
peneliti telah menemukan bahwa sistem penglihatan kita peka terhadap frekuensi
suara, bahwa indra penciuman kita sebagian bergantung pada apa yang sekarang
dinamakan “frekuensi osmik”, dan bahkan sel-sel tubuh kita peka terhadap suatu
bentangan luas frekuensi. Temuan-temuan seperti itu menandakan bahwa hanya di
dalam domain kesadaran holografik saja frekuensi-frekuensi seperti itu
dipilah-pilah dan dibagi-bagi menjadi persepsi konvensional.
Tetapi aspek yang paling membingungkan dari model otak
holografik Pribram adalah apa yang terjadi apabila model itu dipadukan dengan
teori Bohm. Oleh karena, bila kekonkritan alam semesta ini hanyalah realitas
sekunder dan bahwa apa yang ada “di luar sana” sesungguhnya hanyalah kekaburan
frekuensi holografik, dan jika otak juga sebuah hologram dan hanya
memilih beberapa saja dari frekuensi-frekuensi yang kabur dan secara matematis
mengubahnya menjadi persepsi sensorik, apa jadinya dengan realitas yang
obyektif?
Secara sederhana, realias obyektif itu tidak ada lagi.
Seperti telah lama dinyatakan oleh agama-agama dari Timur, dunia materi ini
adalah Maya, suatu ilusi, dan sekalipun kita mungkin berpikir bahwa kita ini
makhluk fisikal yang bergerak di dalam dunia fisikal, ini juga suatu ilusi.
Kita ini sebenarnya adalah “pesawat penerima” yang mengambang
melalui suatu lautan frekuensi kaleidoskopik, dan apa yang kita ambil dari
lautan ini dan terjemahkan menjadi realitas fisikal hanyalah satu channel saja
dari sekian banyak yang diambil dari superhologram itu.
Gambaran realitas yang baru dan mengejutkan ini, yakni
sintesis antara pandangan Bohm dan Pribram, dinamakan paradigma holografik, dan
sekalipun banyak ilmuwan memandangnya secara skeptik, paradigma itu
menggairahkan sementara ilmuwan lain. Suatu lingkungan kecil ilmuwan –yang
jumlahnya makin bertambah– percaya bahwa paradigma itu merupakan model realitas
yang paling akurat yang pernah dicapai sains. Lebih dari itu, sementara
kalangan percaya bahwa itu dapat memecahkan beberapa misteri yang selama ini
belum dapat dijelaskan oleh sains, dan bahkan dapat menegakkan hal-hal
paranormal sebagai bagian dari alam. Banyak peneliti, termasuk Bohm dan
Pribram, mencatat bahwa banyak fenomena para-psikologis menjadi lebih dapat
dipahami dalam kerangka paradigma holografik.
Dalam suatu alam semesta yang di situ otak individu
sesungguhnya adalah bagian yang tak terbagi dari hologram yang lebih besar dan
segala sesuatu saling berhubungan secara tak terbatas, maka telepati mungkin
tidak lebih dari sekadar mengakses tingkat holografik itu. Jelas itu jauh lebih
mudah dapat memahami bagaimana informasi dapat berpindah dari batin individu A
kepada batin individu B yang berjauhan, dan memahami sejumlah teka-teki yang
belum terpecahkan dalam psikologi. Khususnya, Grof merasa bahwa paradigma
holografik menawarkan model untuk memahami banyak fenomena membingungkan yang
dialami orang dalam keadaan “kesadaran yang berubah” [altered states of
consciousness] .
Pada tahun 1950-an, ketika melakukan penelitian
terhadap anggapan bahwa LSD adalah alat penyembuhan psikoterapi, Grof mempunyai
seorang pasien wanita yang tiba-tiba merasa yakin bahwa dia mempunyai identitas
seekor reptil betina prasejarah. Selama halusinasinya, dia tidak hanya
menguraikan secara amat mendetail tentang bagaimana rasanya terperangkap dalam
wujud seperti itu, melainkan juga mengatakan bahwa bagian anatomi binatang
jantan adalah sepetak sisik berwarna pada sisi kepalanya.
Yang mengejutkan Grof ialah bahwa, sekalipun wanita
itu sebelumnya tidak mempunyai pengetahuan tentang
hal-hal itu, suatu percakapan dengan seorang ahli zoologi belakangan menguatkan
bahwa pada beberapa spesies reptilia tertentu bagian-bagian berwarna dari
kepala memainkan peran penting untuk membangkitkan birahi.
Pengalaman wanita itu bukan sesuatu yang unik. Selama
penelitiannya, Grof bertemu dengan pasien-pasien yang mengalami regresi dan
mengenali dirinya sebagai salah satu spesies dalam deretan evolusi. Tambahan
pula, ia mendapati bahwa pengalaman-pengalam an seperti itu sering kali
mengandung informasi zoologis yang jarang diketahui yang belakangan ternyata
akurat.
Regresi ke dalam dunia binatang bukanlah satu-satunya
fenomena psikologis yang menjadi teka-teki yang ditemukan Grof. Ia juga
mempunyai pasien-pasien yang tampak dapat memasuki alam bawah sadar kolektif
atau rasial. Orang-orang yang tidak terdidik tiba-tiba memberikan gambaran yang
terperinci tentang praktek penguburan Zoroaster dan adegan-adegan dari mitologi
Hindu. Jenis pengalaman yang lain adalah orang-orang yang memberikan uraian
yang meyakinkan tentang perjalanan di luar tubuh, atau melihat sekilas masa
depan yang akan terjadi, atau regresi ke dalam inkarnasi dalam salah satu
kehidupan lampau.
Dalam riset-riset lebih lanjut, Grof menemukan
bentangan fenomena yang sama muncul dalam sesi-sesi terapi yang tidak
menggunakan obat-obatan [psikotropika] . Oleh karena unsur yang sama dalam
pengalaman-pengalam an seperti itu tampaknya adalah diatasinya kesadaran
individu yang biasanya dibatasi oleh ego dan/atau dibatasi oleh ruang dan
waktu, Grof menyebut fenomena itu sebagai “pengalaman transpersonal” , dan pada
akhir tahun 1960-an ia membantu mendirikan cabang psikologi yang disebut
“psikologi transpersonal” yang sepenuhnya mengkaji pengalaman-pengalaman
seperti itu.
Sekalipun perhimpunan yang didirikan oleh Grof,
Perhimpunan Psikologi Transpersonal [Association of Transpersonal Psychology],
menghimpun sekelompok profesional yang jumlahnya semakin bertambah, dan telah
menjadi cabang psikologi yang terhormat [di kalangan sains], selama
bertahun-tahun Grof maupun rekan-rekannya tidak dapat memberikan suatu
mekanisme yang dapat menjelaskan berbagai fenomena psikologis aneh yang mereka
saksikan. Tetapi semua itu berubah dengan lahirnya paradigma holografik.
Sebagaimana dicatat Grof baru-baru ini, jika batin
memang bagian dari suatu kontinuum, suatu labirin yang berhubungan bukan hanya
dengan setiap batin lain yang ada dan yang pernah ada, melainkan berhubungan
pula dengan setiap atom, organisme, dan wilayah di dalam ruang dan waktu yang
luas itu sendiri, maka fakta bahwa batin kadang-kadang bisa menjelajah ke dalam
labirin itu dan mengalami hal-hal transpersonal tidak lagi tampak begitu aneh.
Paradigma holografik juga mempunyai implikasi bagi
sains-sains “keras” seperti biologi. Keith Floyd, seorang psikolog di Virginia
Intermont College, mengatakan bahwa jika realitas yang konkrit tidak lebih dari
sekadar ilusi holografik, maka tidak benar lagi pernyataan yang mengklaim bahwa
otak menghasilkan kesadaran. Alih-alih, justru kesadaranlah yang menciptakan
perwujudan dari otak — termasuk juga tubuh dan segala sesuatu di sekitar kita
yang kita tafsirkan sebagai fisikal.
Pembalikan cara melihat struktur-struktur biologis
seperti itu menyebabkan para peneliti mengatakan bahwa ilmu kedokteran
dan pemahaman kita mengenai proses penyembuhan juga dapat mengalami
transformasi berkat paradigma holografik ini. Jika struktur yang tampaknya
fisikal dari badan ini tidak lain daripada proyeksi holografik dari kesadaran,
maka jelas bahwa masing-masing dari kita jauh lebih bertanggung- jawab bagi
kesehatan diri kita daripada yang dinyatakan oleh pengetahuan kedokteran
masa kini. Apa yang sekarang kita lihat sebagai penyembuhan penyakit yang
bersifat “mukjizat” mungkin sesungguhnya disebabkan oleh perubahan-perubahan
dalam kesadaran yang pada gilirannya mempengaruhi perubahan-perubahan dalam
hologram badan jasmani.
Demikian pula, teknik-teknik penyembuhan baru yang
kontroversial, seperti visualisasi, mungkin berhasil baik oleh karena dalam
domain pikiran yang
holografik gambar-gambar pada akhirnya sama nyatanya dengan “realitas”. Bahkan
berbagai visiun dan pengalaman yang menyangkut realitas yang “tidak biasa”
dapat dijelaskan dengan paradigma holografik. Dalam bukunya “Gifts of Unknown
Things”, pakar biologi Lyall Watson menceritakan pertemuannya dengan seorang
dukun perempuan Indonesia yang, dengan melakukan semacam tarian ritual, mampu
melenyapkan sekumpulan pepohonan. Watson mengisahkan, sementara ia dan seorang
pengamat lain terus memandang perempuan itu dengan takjub, ia membuat pepohonan
itu muncul kembali, lalu melenyapkannya dan memunculkannya lagi beberapa kali
berturut-turut.
Sekalipun pemahaman saintifik masa kini tidak mampu
menjelaskan peristiwa-peristiwa seperti itu, berbagai pengalaman seperti ini
menjadi lebih mungkin jika realitas “keras” tidak lebih dari sekadar proyeksi
holografik. Mungkin kita sepakat tentang apa yang “ada” atau “tidak ada” oleh
karena apa yang disebut “realitas konsensus” itu dirumuskan dan disahkan di
tingkat bawah sadar manusia, yang di situ semua batin saling berhubungan tanpa
terbatas. Jika ini benar, maka ini adalah implikasi paling dalam dari paradigma
holografik, oleh karena hal itu berarti bahwa pengalaman-pengalam an
sebagaimana dialami oleh Watson adalah tidak lazim hanya oleh karena kita tidak
memprogram batin kita dengan kepercayaan- kepercayaan yang membuatnya lazim. Di
dalam alam semesta yang holografik, tidak ada batas bagaimana kita dapat
mengubah bahan-bahan realitas. Yang kita lihat sebagai ‘realitas’ hanyalah
sebuah kanvas yang menunggu kita gambari dengan gambarapa pun yang kita
inginkan. Segala sesuatu adalah mungkin, mulai dari melengkungkan sendok dengan
kekuatan batin sampai peristiwa-peristiwa fantastik yang dialami oleh Castaneda
selama pertemuannya dengan dukun Indian bangsa Yaqui, Don Juan, oleh karena
sihir adalah hak asasi kita, tidak lebih dan tidak kurang adikodratinya
daripada kemampuan kita menghasilkan realitas yang kita inginkan ketika kita
bermimpi.
Sesungguhnya, bahkan paham-paham kita yang paling
mendasar tentang realitas patut dipertanyakan, oleh karena di dalam alam
semesta holografik, sebagaimana ditunjukkan oleh Pribram, bahkan perisitiwa
yang terjadi secara acak [random] harus dilihat sebagai berdasarkan prinsip
holografik dan oleh karena itu bersifat determined. ‘Sinkronisitas’ atau
peristiwa-peristiwa kebetulan yang bermanfaat, tiba-tiba masuk akal, dan segala
sesuatu dalam realitas harus dilihat sebagai metafora, oleh karena bahkan
peristiwa yang paling kacau mengungkapkan suatu simetri tertentu yang
mendasarinya.
Apakah paradigma holografik Bohm dan Pribram akan
diterima oleh sains atau tenggelam begitu saja masih akan kita lihat, tetapi
pada saat ini agaknya dapat dikatakan bahwa paradigma itu telah berpengaruh
terhadap pemikiran sejumlah ilmuwan. Dan bahkan jika kelak terbukti bahwa model
holografik tidak memberikan penjelasan terbaik bagi komunikasi seketika yang
tampaknya berlangsung bolak-balik di antara partikel-partikel subatomik,
setidak- tidaknya, sebagaimana dinyatakan oleh Basil Hiley, seorang pakar
fisika di Birbeck College di London, temuan Aspect “menunjukkan bahwa kita
harus siap mempertimbangkan paham-paham baru yang radikal mengenai realitas.”
Tak Jodoh
Cinta Sundallang
cindolo na tape,
ku sayang ki dan ku cinta ki tapi kita toh, SUNDALLANGKI ..
SUNDALA kau pergi mi saja. MAKAN mi cintamu
ku sayang ki dan ku cinta ki tapi kita toh, SUNDALLANGKI ..
SUNDALA kau pergi mi saja. MAKAN mi cintamu
Kamis, 13 Juni 2013
KAFIR
Bagi yang
mudah lupa, maka saya ulang
Kafir =
Menolak Kebenaran [ Kafir SAMA DENGAN menolak kebenaran]
Jadi barang
siapa saja yang menolak kebenaran, entah dia punya agama ataupun tidak maka dia
adalah kafir.
Persoalannya adalah, apa yang disebut dengan benar dan apa yang disebut dengan kebenaran ? Saya rasa kita harus menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu sebelum kita bisa mengatakan “kafir” atau “tidak kafir”.
Persoalannya adalah, apa yang disebut dengan benar dan apa yang disebut dengan kebenaran ? Saya rasa kita harus menjawab pertanyaan itu terlebih dahulu sebelum kita bisa mengatakan “kafir” atau “tidak kafir”.
Dengan
menjawab pertanyaan itu maka kita akan menjadi lebih mudah untuk
mengenali siapa yang telah menolak “kebenaran” tersebut?
Jawaban
untuk itu tentu panjang dan bisa berpanjang-panjang jika tidak dibatasi dengan ilmu logika, dan
menurut ilmu logika asas
kebenaran itu ada 2 :
1. Adanya
persamaan antara KENYATAAN dengan STATEMENT.
2. Tidak terjadi KONTRADIKSI antara 2 pernyataan yang sama.
2. Tidak terjadi KONTRADIKSI antara 2 pernyataan yang sama.
Itu tok,
Tapi….
Bagaimana
kita bisa MENGETAHUI yang mana
yang sama antara KENYATAAN dengan STATEMENT dan yang mana yang berbeda antara
KENYATAAN dengan STATEMENT seperti yang dimaksudkan pada asas nomor 1
diatas, yakni asas “Adanya persamaan antara KENYATAAN dengan STATMENT?”
Untuk MENGETAHUI itu, kita
perlu beberapa alat lagi setelah logika, yakni epistemologi, filsafat
dan irfan. Untuk
mengurai itu tentu akan menjadi lebih panjang lagi, namun demikian kita bisa
mamasuki persoalan itu secara bertahap, yakni langkah demi langkah.
Untuk
menjawab pertanyaan itu tentu kita akan mulai dari langkah pertama dulu, yakni
dengan menjawab apakah yang dimaksud dengan “Tahu” atau “Mengetahui” ?
“Tahu” atau “mengetahui” adalah sebuah kondisi kesadaran, yaitu kesadaran penuh atas sesuatu sehingga denganya hilang sudah semua keraguan kita terhadap persoalan tersebut.
“Tahu” atau “mengetahui” adalah sebuah kondisi kesadaran, yaitu kesadaran penuh atas sesuatu sehingga denganya hilang sudah semua keraguan kita terhadap persoalan tersebut.
Misalnya,
jika ada yang mengatakan bahwa ” 4 + 4 = 8″, maka kita disebut “mengetahui” persolan
tersebut jika kita tahu apakah itu benar atau salah. Jika kita mengatakan 4+4=8
adalah benar DAN mantap! maka kita disebut MENGETAHUI. Tetapi
jika kita mengatakan bahwa 4+4=8 dan kita ragu-ragu maka
sesungguhnya kita belumlah mengetahui persoalan.
Karenanya,
garis tegas antara mengetahui dan TIDAK mengetahui adalah di
titik “ragu”nya. Orang
disebut mengetahui persoalan
jika baginya persoalan itu sudah jelas dan tidak ada keraguan lagi didalamnya.
Walaupun orang yang kita hormati seperti guru, orang tua, ustadz, pendeta atau
siapapun yang mengatakan bahwa 4+4=23 maka kita tidak akan ragu untuk
mengatakan bahwa hal seperti itu adalah salah, yang betul adalah 4+4=8.
Jika kita ragu untuk
memastikan bahwa 4+4=8, maka kita bukanlah termasuk orang-orang yang mengetahui disekitar
persoalan 4+4 tersebut.
Pun demikian
untuk persoalan kafir dan TIDAK kafir, jika kita sudah tahu 100% dan tidak ragu terhadap
sebuah persoalan, maka kita akan tegas dan mantap untuk mengatakan bahwa saya
MENERIMA PERSOALAN ini dan yang itu yang saya sudah ketahui 100% kebenarannya
sebagaimana saya mengetahui 4+4=8.
Namun, jika
kita tidak mengetahui 100%
seputar persoalan yang dibicarakan orang dan masih ragu-ragu tentang
persoalan tersebut, maka adalah kurang bijak kalau kita langsung MENERIMA atau
MENOLAK persoalan yang tidak kita ketahui tersebut. Konon lagi kalau kita
betul-betul TIDAK MENGETAHUI persoalan
yang dibicarakan orang lantas kita langsung main TOLAK mentah-mentah, maka
sangat besar peluang kita menjadi orang kafir, yakni orang yang menolak
kebenaran.
Tubuh Itu Merekam
tubuh
merekam
DALAM Alquran (Yasin: 65) dinyatakan, di akhirat kelak
anggota tubuh kita akan memberikan kesaksian atas apa yang diperbuatnya selama
di dunia.
Tangan,
kaki, dan anggota badan lain akan berbicara sehingga mulut tidak bisa membantah
dan berbohong. Pendeknya dalam pengadilan di akhirat kelak kita tak akan mampu
membohongi diri sendiri dan malaikat karena anggota tubuh akan menjadi saksi
yang bisa memberatkan atau meringankan, tergantung pada perbuatan yang pernah
dilakukan di dunia. Hakim yang kita hadapi di akhirat kelak bukanlah hakim yang
dapat disuap dengan uang sebagaimana yang terjadi di dunia.
Tak akan ada yang mampu menolong diri kita kecuali
rekaman iman dan amal kebajikan kita sendiri. Apa yang disampaikan Alquran di
atas secara ilmiah sangat mudah untuk dibuktikan bahwa tubuh
itu merekam apa yang biasa kita lakukan dan pikirkan. Contoh yang paling sederhana
adalah rekaman pengalaman naik sepeda. Mungkin ada di antara kita sudah puluhan
tahun tidak pernah naik sepeda.Tetapi karena dahulunya pernah dan biasa naik
sepeda, andaikan disodori sepeda pasti bisa mengendarainya.
Mengapa? Karena tubuh kita, terutama kaki dan
tangan,memiliki rekaman bagaimana mengendarai sepeda,sehingga rekaman tadi
muncul lagi ketika disuruh naik sepeda. Namun, mereka yang dahulunya tidak
pernah,yang berarti tidak memiliki rekaman pengalaman, pasti perlu waktu lama
dan mulai dari nol untuk belajar naik sepeda. Contoh ini dapat diperbanyak
lagi, misalnya apa yang direkam oleh lidah tentang rasa makanan.
Tanpa diberi tahu apa namanya, begitu melihat, mencium
baunya, dan merasakan rasa makanan yang dahulu suka kita makan waktu kecil
sudah langsung tahu apa nama makanan itu dan bagaimana rasanya. Bahkan andaikan
makanan itu disajikan dalam keadaan gelap, kita akan bisa mengenalinya.
Bagaimana bisa? Karena lidah kita memiliki rekaman akan berbagai rasa makanan.
Dalam sebuah penelitian kajian neurologi dibuktikan
bahwa selsel otak ternyata menyimpan berbagai informasi dan pengalaman yang
terekam sejak kecil yang umumnya sudah kita lupakan. Ketika dilakukan
eksperimen dengan pembedahan otak, tetapi yang bersangkutan tetap sadar,
ternyata ketika dirangsang sel-sel saraf tertentu mampu menceritakan berbagai
pengalaman sewaktu kecil.Eksperimen ini memperkuat teori bahwa semua yang
pernah kita ketahui dan pikirkan terekam dalam jaringan saraf otak. Jadi, apa
yang dikatakan Alquran tadi semakin diperkuat oleh eksperimen ilmiah.
Teori bahwa tubuh merekam saya amati dan buktikan
sendiri ketika ayah saya sakit, dirawat di rumah sakit di Magelang selama satu
minggu. Saya mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari peristiwa ini.
Betapa tidak? Bayangkan, ketika dia sembuh dan telah kembali ke rumah, saya
bertanya kepadanya, “Bagaimana pengalaman Bapak ketika di rumah sakit?”Dia
jawab, “Saya lupa.” Sungguh ini hal yang aneh. Dia bilang sudah lupa dengan apa
yang terjadi di rumah sakit. Jadi, secara fisik sebenarnya dia memang sakit,
tetapi secara mental dia sama sekali tidak merasa dirinya sakit.
Yang sangat mengesankan saya, saat dirawat di rumah
sakit, setiap kali datang waktu salat, dia selalu minta air untuk wudu atau minta
diberi kesempatan untuk tayamum karena mau salat. Rupanya tubuh dan mentalnya
merekam ritme jadwal salat sehingga setiap datang waktu salat, jam badannya
(biological clock) memberi isyarat secara refleks dan otomatis bergegas untuk
mendirikan salat karena ayah saya ketika sehat selalu salat tepat waktu lima
kali sehari.
Jadi, ketika sakit, jam badan itu bekerja layaknya
weaker yang memberi isyarat karena di dalamnya memiliki rekaman habit. Contoh
lain yang dengan mudah kita saksikan dalam peristiwa-peristiwa sehari-hari
adalah pengalaman sopir bus malam lintas kota. Dulu, waktu tol Cipularang belum
dibuat, sebagian besar orang menggunakan jalur Puncak untuk pergi dari Jakarta
ke Bandung. Pernahkah kita membayangkan bagaimana hebatnya para sopir bus jurusan
Jakarta– Bandung itu ketika melawati Ciawi, Megamendung, Cisarua, Puncak Pass,
Cipanas, Cianjur, dan Bandung?
Sopir-sopir bus itu dengan mudahnya menyusuri jalan
berkelok yang naik-turun. Mereka sangat lihai. Mereka hafal betul kapan dan di
mana harus berbelok. Mereka tahu kapan dan di mana akan ada tanjakan dan
tikungan, bahkan mereka tahu di mana akan ada banyak kerumunan orang di jalan.
Mengapa mereka bisa sehebat itu? Mengapa sopir itu bisa secara refleks
mengendarai dan hafal situasi jalur Jakarta–Bandung? Jawabannya kita pasti
tahu: itu karena kebiasaan.
Mereka telah terbiasa setiap hari melewati rute itu
sehingga anggota tubuhnya merekam situasi dan keadaan yang dilaluinya. Begitu
juga orang yang dulu pernah mahir bermain ping-pong atau bermain badminton,
ketika dia sudah tua, meskipun sudah meninggalkan kebiasaan itu selama puluhan
tahun, pasti dia akan sanggup memainkannya kembali. Mungkin gerakan dan tingkat
kelihaiannya berbeda dengan masa mudanya, tetapi kemampuan dan teknik dasar
bermainnya tentu akan terlihat.Jadi, kebiasaan masa lalu tak akan mudah
terlupakan karena tubuh ini merekam secara kuat apa yang pernah menjadi
kebiasaan dan kesukaan atau hobi.
Cerita di atas menyimpan pesan yang sangat dalam.
Bahwa hendaknya kita membiasakan berpikir, berbicara, dan berbuat yang
baik-baik, agar ketika sakit atau menjelang ajal nanti, rekaman kebaikan itu
yang akan menemani dan mengawal kita menempuh perjalanan lebih lanjut. Coba
renungkan, ada kejadian pada orangtua yang menjelang ajal, tetapi sangat-angat
sulit untuk mengucapkan zikir seperti tahlil, tahmid, takbir. Hal ini
disebabkan di masa hidupnya bacaan-bacaan zikir itu sangat asing, hati dan
lidahnya tidak memiliki rekaman zikir.
Dia tidak mempunyai memori yang dapat membangkitkan
kesadarannya untuk mengucapkan kalimah tayyibahitu menjelang ajalnya.
Sebaliknya,sering kali saya menyaksikan bagaimana mudahnya seseorang
mengucapkan zikir atau membaca asmaul husna pada saat menjelang kematiannya.Ini
lantaran dia telah terbiasa untuk mengucapkan kalimat itu di masa hidupnya. Dia
telah membiasakan diri untuk membasahi lidahnya dengan kalimat zikir.
Siang malam dia berzikir. Sebelum dan sesudah salat
dia berzikir. Ketika tersandung batu dia beristigfar. Ketika mendengar petir
dia bertasbih. Praktis, kalimat zikir telah menjadi bagian dari kebiasaannya
sehari-hari sehingga ketika ajal datang menjemput dia dengan mudah mengucapkan
kalimat zikir untuk menutup usianya. Karena itu, bagi orang yang mempunyai
kebiasaan buruk yang selalu mengucapkan kata-kata kotor di
masa hidupnya, bisa jadi menjelang sakaratul maut yang akan diingatnya hanya kata-kata kotor.
Orang yang biasa mengejek, mengomel, atau mencemooh
orang lain akan tertutup hatinya untuk mengucapkan kata-kata yang baik,
sebab rekaman atau memori hidupnya selalu dipenuhi dengan kebiasaan buruk itu.
Saya sering kali mendapatkan kisah-kisah nyata yang menceritakan hal itu.
Semoga kisah-kisah di atas dapat menjadi pelajaran berharga untuk menghadapi
kematian sehingga kita menjumpai Izrail dengan senyum persahabatan.
Mari kita membiasakan diri untuk melafalkan kata-kata yang
baik,selalu berzikir dan mengingat Allah SWT,membiasakan diri mengerjakan
salat, berpuasa dan bersedekah,serta berbuat baik kepada sesama,sebab semua itu
akan terekam dalam memori kita sepanjang hayat, baik saat hidup di dunia,
menjelang sakaratul maut, atau setelah kematian kita. Husnul khatimah
(pengujung yang baik) di masa kematian kita itu tidak bisa diraih dengan
tiba-tiba.
Ia tak bisa dipaksa dan dibimbing oleh orang lain
dengan mudah karena diri kitalah yang menentukan apakah kita sanggup
mendapatkan akhir yang baik atau tidak. Husnul khatimah merupakan akumulasi
dari perjalanan panjang seseorang di masa hidupnya. Rekam jejak kehidupan
seseorang menentukan hasil akhir dari perjalanan hidupnya di dunia.(*)
Langganan:
Postingan (Atom)